Ekonomi politik internasional bukanlah hal yang bersifat statis, melainkan senantiasa mengalami dinamika-dinamika tertentu terelebih lagi di era dunia modern. Interaksi antara pasar dengan kondisi lingkungannya menjadi salah satu hal yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan teori ekonomi politik di dunia modern. Kondisi sistem pasar selain dipengaruhi oleh dinamika internalnya sendiri, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal meliputi: (1) kondisi struktural masyarakat (stucture of society), (2) kerangka politik domestik dan internasional, dan (3) adanya perkembangan sains dan teknologi . Di sisi lain, sistem pasar itu sendiri juga dapat mempengaruhi dan menyebabkan adanya transformasi pada faktor-faktor eksternal tersebut seperti misalnya menstimulus perkembangan sains dan teknologi, serta mengubah pola interaksi politik antar-aktor. Oleh karena itu penting bagi kita untuk memahami bagaimana kondisi pasar dan faktor eksternal saling mempengaruhi satu sama lain yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dinamika ekonomi politik internasional secara keseluruhan.
Robert Gilpin, dalam artikelnya “The Dynamics of the International Political Economy”, menyebutkan ada tiga teori kontemporer yang dapat digunakan untuk menjelaskan pengaruh evolusi pada pasar terhadap dinamika ekonomi politik internasional. Yang pertama adalah teori ekonomi liberal, dimana dikenal dengan teori “dual ekonomi”. Teori “dual ekonomi” ini menekankan bahwa setiap kondisi ekonomi, baik dalam lingkup domestik maupun internasional, harus dianalisis berdasarkan dua sektor penting, yakni: modern sector (yang dicirikan dengan adanya integrasi ekonomi serta efisiensi produktif yang tinggi), dan traditional sector (yang dicirikan dengan local self-sufficiency). Menurut teori ini, perkembangan ekonomi merupakan hasil transformasi traditional sector menjadi modern sector melalui suatu proses yang dikenal dengan modernisasi ekonomi, sosial, dan politik. Di samping itu, teori ini melihat evolusi pasar sebagai suatu bentuk respon terhadap meningkatnya keinginan para aktor untuk meningkatkan efisiensi dan memaksimalkan kekayaannya.
Teori yang kedua adalah teori Marxis, atau yang lebih dikenal dengan teori “Sistem Dunia Modern (Modern World System).” Teori ini memandang sistem pasar dunia sebagai suatu mekanisme untuk mengeksploitasi ekonomi atau setidaknya untuk mengembangkan negara dengan jalan memajukan ekonomi kapitalis. Lebih lanjut, apa yang disebut dengan dunia modern disini dipahami sebagai suatu sistem dimana semua bagian yang terdapat di dalamnya saling berkorelasi satu sama lain, dan sistem bekerja berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi (economic laws) yang disepakati bersama.
Teori yang terakhir adalah teori merkantilis, atau yang lebih dikenal dengan teori stabilitas hegemon (the theory of hegemonic stability). Teori ini berasumsi bahwa perekonomian dunia yang liberal mensyaratkan adanya eksistensi dari aktor dominan yang bertindak sebagai hegemon. Sebagaimana dikatakan dalam teori Robert Keohane bahwa “…adanya dominasi dari suatu negara yang bertindak sebagai hegemon merupakan kondisi yang paling kondusif bagi perkembangan rezim internasional yang mengatur tindakan aktor-aktor yang terlibat…dan penurunan power pada hegemon dapat berakibat pada melemahnya rezim perekonomian internasional.” Kekuatan seorang hegemon akan dapat meciptakan dan mempertahankan norma dan aturan yang ada dalam tatanan perekonomian liberal. Robert Keohane juga berpendapat bahwa kekuatan hegemonik membantu membentuk kerjasama internasional dalam bidang tertentu seperti keuangan, perdagangan, dan minyak. Ketika kekuatan hegemoni Amerika Serikat menurun pasca defisit perdagangan di tahun 1970-an, kerjasama tidak pecah, sehingga Keohane menyimpulkan bahwa kekuatan hegemonik mungkin menjadi penting pada awal pembentukan kerjasama. Tetapi ketika institusi internasional yang diperlukan telah terbentuk, mereka memiliki kekuatan yang tetap ada, mereka menjalankannya untuk dirinya sendiri, dan mereka mampu meningkatkan kerjasama lebih jauh bahkan dalam lingkungan penurunan hegemonik.4
Lebih lanjut, Georg Sorensen (1999:247) juga menyatakan pentingnya mempelajari teori stabilitas hegemon dalam kaitannya dengan studi Ekonomi Politik Internasional (EPI). Menurutnya, kehadiran suatu kekuatan dominan, suatu hegemon, dalam hubungan ekonomi internasional yang liberal merupakan sesuatu penting. Jika suatu hegemoni tidak ada, perekonomian dunia liberal yang dicirikan dengan adanya keterbukaan akan menjadi lebih sulit untuk dipertahankan. Kekuatan dominan menciptakan suatu perekonomian dunia yang terbuka berdasarkan pada perdagangan bebas yang bermanfaat bagi semua negara yang berpartisipasi dan bukan hanya negara hegemon. Namun, di sisi lain kelemahan dari teori hegemonik adalah mengabaikan peranan positif negara-negara kecil dalam pembentukan perekonomian dunia liberal. Padahal, hegemon pun memerlukan upaya kooperatif dari negara-negara lain. Akan tetapi teori stabilitas hegemon justru cenderung melihat negara kecil sebagai pembonceng (free rider) yang egois.5
Adanya perbedaan dari masing-masing teori di atas dalam menjelaskan dinamika yang terjadi di dunia modern, turut berdampak pada perbedaan pandangan tentang susunan atau ‘order’ yang terdapat dalam ekonomi politik internasional itu sendiri. Menurut kaum ekonomi liberal, tatanan yang berlaku dalam EPI diatur berdasarkan prinsip perekonomian pasar yang merupakan wilayah otonom dari masyarakat yang mana berjalan sesuai dengan hukum ekonominya sendiri.6 Pertukaran ekonomi berifat “positive-sum game” dan pasar akan memaksimalkan keutungan bagi individu sehingga perekonomian merupakan bidang kerjasama yang saling menguntungkan antarnegara dan juga antar individu. Sedangkan menurut pendekatan Marxis, tatanan dalam EPI terjadi karena adanya persaingan antar kelas, yakni kaum proletar dan kaum borjuis. Dan menurut pandangan Marxis, EPI hirau pada sejarah ekspansi kapitalis global dan perjuangan antar kelas. Sehingga, dalam tatanan EPI menurut Marxis, memungkinkan adanya krisis dan kontradiksi antar negara maupun antar kelas sosial karena adanya pembangunan kapitalis yang tidak seimbang. Sementara, dalam asumsi kaum mekantilis, tatanan dalam EPI tercipta karena adanya aktor yang bertindak sebagai hegemon. Kaum merkantilis menekankan perlunya negara yang kuat untuk menciptakan perekonomian internasional liberal yang dapat berfungsi dengan baik.7
Pandangan kaum Marxis mengenai pentingnya hegemon ini di kemudian hari memunculkan perdebatan di antara para pelaku ekonomi politik seiring dengan berkurangnya dominasi Amerika Serikat dalam mengatur stabilitas ekonomi politik internasional pasca terjadinya krisis minyak di tahun 1970-an. Di tahun 1970, Amerika mengalami defisit perdagangan untuk pertama kalinya dan situasi tersebut mendorong Amerika untuk mengambil langkah proteksionis terhadap perekonomiannya sendiri dibanding berorientasi terhadap langkah-langkah untuk mempertahankan perekonomoan dunia liberal. Sejak saat itu, dunia memasuki era baru yang dicirikan dengan adanya proteksionisme yang meningkat, ketidakstabilan moneter, dan krisis ekonomi.8 Para akademisi dan pelaku ekonomi politik pun semakin memperdebatkan perlunya hegemon dalam membentuk perekonomian dunia liberal. Dan, sejak peristiwa di tahun 1970-an tersebut, terjadi peningkatan interdepensi yang kompleks antara aktor-aktor dalam hubungan internasional terkait isu ekonomi politik internasional. Hal tersebut menyebabkan struktur dan tatanan dalam ekonomi politik internasional kini tidak lagi bergantung pada peran hegemon semata, melainkan semua aktor dalam hubungan internasional berhak turut andil dalam mempengaruhi dan bertanggung jawab (in charge) atas dinamika yang terjadi dalam ekonomi politik internasional.
Kesimpulan dan Opini:
Dinamika yang terjadi dalam EPI dapat dijelaskan melalui tiga teori kontemporer, yakni teori “dual ekonomi”, teori “sistem dunia baru”, dan juga teori “stabilitas hegemon”. Asumsi-asumsi dari ketiga teori tersebut mempengaruhi tatanan atau ‘order’ yang ada dalam lingkup EPI. Di antara ketiga teori tersebut, teori tentang stabilitas hegemon lah yang di kemudian hari meunculkan perdebatan. Dan seiring dengan berkurangnya dominasi AS pasca krisis minyak di tahun 1970-an, dan munculnya Jepang dan Jerman sebagai kekuatan baru menyadarkan dunia bahwa siapa saja berhak turut andil dan ‘in charge’ terhadap dinamika yang terjadi dalam EPI.
Menurut pendapat saya, di antara ketiga teori yang dijelaskan Gilpin tidak dapat dinilai mana yang paling benar dalam menggambarkan dinamika yang terjadi dalam EPI. Karena, masing-masing teori turut memberikan kontribusi yang saling melengkapi dalam membantu memahami kemungkinan-kemungkinan dinamika yang mempengaruhi ‘order’ dalam EPI di era yang lalu maupun masa kini.
*****
Referensi:
Gilpin, Robert. (1987). “The Dynamics of International Political Economy”, dalam the Political Economy of International Relations, Princeton: Princeton University Press, pp.65-117.
Lairson, Thomas D. dan D.Skidmore. (1993). “The Political Economy of American Hegemony: 1938-1973”, dalam International Political Econmy: the Struggle for Power and Wealth, Orlando: Harcourt Brace College Publisher, pp.63-94.
Jackson, Robert and G.Sorensen.(1999). International Political Economy”, dalam Introduction to International Relations, Oxford: Oxford University Press,pp.246-274.