Sabtu, 13 November 2010

Kepemimpinan, Hegemoni, dan Stabilitas: Tatanan dalam Ekonomi Politik Internasional

       Ekonomi politik internasional bukanlah hal yang bersifat statis, melainkan senantiasa mengalami dinamika-dinamika tertentu terelebih lagi di era dunia modern. Interaksi antara pasar dengan kondisi lingkungannya menjadi salah satu hal yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan teori ekonomi politik di dunia modern. Kondisi sistem pasar selain dipengaruhi oleh dinamika internalnya sendiri, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal meliputi: (1) kondisi struktural masyarakat (stucture of society), (2) kerangka politik domestik dan internasional, dan (3) adanya perkembangan sains dan teknologi . Di sisi lain, sistem pasar itu sendiri juga dapat mempengaruhi dan menyebabkan adanya transformasi pada faktor-faktor eksternal tersebut seperti misalnya menstimulus perkembangan sains dan teknologi, serta mengubah pola interaksi politik antar-aktor. Oleh karena itu penting bagi kita untuk memahami bagaimana kondisi pasar dan faktor eksternal saling mempengaruhi satu sama lain yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dinamika ekonomi politik internasional secara keseluruhan.
       Robert Gilpin, dalam artikelnya “The Dynamics of the International Political Economy”, menyebutkan ada tiga teori kontemporer yang dapat digunakan untuk menjelaskan pengaruh evolusi pada pasar terhadap dinamika ekonomi politik internasional. Yang pertama adalah teori ekonomi liberal, dimana dikenal dengan teori “dual ekonomi”. Teori “dual ekonomi” ini menekankan bahwa setiap kondisi ekonomi, baik dalam lingkup domestik maupun internasional, harus dianalisis berdasarkan dua sektor penting, yakni: modern sector (yang dicirikan dengan adanya integrasi ekonomi serta efisiensi produktif yang tinggi), dan traditional sector (yang dicirikan dengan local self-sufficiency). Menurut teori ini, perkembangan ekonomi merupakan hasil transformasi traditional sector menjadi modern sector melalui suatu proses yang dikenal dengan modernisasi ekonomi, sosial, dan politik. Di samping itu, teori ini melihat evolusi pasar sebagai suatu bentuk respon terhadap meningkatnya keinginan para aktor untuk meningkatkan efisiensi dan memaksimalkan kekayaannya.
      Teori yang kedua adalah teori Marxis, atau yang lebih dikenal dengan teori “Sistem Dunia Modern (Modern World System).” Teori ini memandang sistem pasar dunia sebagai suatu mekanisme untuk mengeksploitasi ekonomi atau setidaknya untuk mengembangkan negara dengan jalan memajukan ekonomi kapitalis. Lebih lanjut, apa yang disebut dengan dunia modern disini dipahami sebagai suatu sistem dimana semua bagian yang terdapat di dalamnya saling berkorelasi satu sama lain, dan sistem bekerja berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi (economic laws) yang disepakati bersama.
       Teori yang terakhir adalah teori merkantilis, atau yang lebih dikenal dengan teori stabilitas hegemon (the theory of hegemonic stability). Teori ini berasumsi bahwa perekonomian dunia yang liberal mensyaratkan adanya eksistensi dari aktor dominan yang bertindak sebagai hegemon. Sebagaimana dikatakan dalam teori Robert Keohane bahwa “…adanya dominasi dari suatu negara yang bertindak sebagai hegemon merupakan kondisi yang paling kondusif bagi perkembangan rezim internasional yang mengatur tindakan aktor-aktor yang terlibat…dan penurunan power pada hegemon dapat berakibat pada melemahnya rezim perekonomian internasional.” Kekuatan seorang hegemon akan dapat meciptakan dan mempertahankan norma dan aturan yang ada dalam tatanan perekonomian liberal. Robert Keohane juga berpendapat bahwa kekuatan hegemonik membantu membentuk kerjasama internasional dalam bidang tertentu seperti keuangan, perdagangan, dan minyak. Ketika kekuatan hegemoni Amerika Serikat menurun pasca defisit perdagangan di tahun 1970-an, kerjasama tidak pecah, sehingga Keohane menyimpulkan bahwa kekuatan hegemonik mungkin menjadi penting pada awal pembentukan kerjasama. Tetapi ketika institusi internasional yang diperlukan telah terbentuk, mereka memiliki kekuatan yang tetap ada, mereka menjalankannya untuk dirinya sendiri, dan mereka mampu meningkatkan kerjasama lebih jauh bahkan dalam lingkungan penurunan hegemonik.4
       Lebih lanjut, Georg Sorensen (1999:247) juga menyatakan pentingnya mempelajari teori stabilitas hegemon dalam kaitannya dengan studi Ekonomi Politik Internasional (EPI). Menurutnya, kehadiran suatu kekuatan dominan, suatu hegemon, dalam hubungan ekonomi internasional yang liberal merupakan sesuatu penting. Jika suatu hegemoni tidak ada, perekonomian dunia liberal yang dicirikan dengan adanya keterbukaan akan menjadi lebih sulit untuk dipertahankan. Kekuatan dominan menciptakan suatu perekonomian dunia yang terbuka berdasarkan pada perdagangan bebas yang bermanfaat bagi semua negara yang berpartisipasi dan bukan hanya negara hegemon. Namun, di sisi lain kelemahan dari teori hegemonik adalah mengabaikan peranan positif negara-negara kecil dalam pembentukan perekonomian dunia liberal. Padahal, hegemon pun memerlukan upaya kooperatif dari negara-negara lain. Akan tetapi teori stabilitas hegemon justru cenderung melihat negara kecil sebagai pembonceng (free rider) yang egois.5
       Adanya perbedaan dari masing-masing teori di atas dalam menjelaskan dinamika yang terjadi di dunia modern, turut berdampak pada perbedaan pandangan tentang susunan atau ‘order’ yang terdapat dalam ekonomi politik internasional itu sendiri. Menurut kaum ekonomi liberal, tatanan yang berlaku dalam EPI diatur berdasarkan prinsip perekonomian pasar yang merupakan wilayah otonom dari masyarakat yang mana berjalan sesuai dengan hukum ekonominya sendiri.6 Pertukaran ekonomi berifat “positive-sum game” dan pasar akan memaksimalkan keutungan bagi individu sehingga perekonomian merupakan bidang kerjasama yang saling menguntungkan antarnegara dan juga antar individu. Sedangkan menurut pendekatan Marxis, tatanan dalam EPI terjadi karena adanya persaingan antar kelas, yakni kaum proletar dan kaum borjuis. Dan menurut pandangan Marxis, EPI hirau pada sejarah ekspansi kapitalis global dan perjuangan antar kelas. Sehingga, dalam tatanan EPI menurut Marxis, memungkinkan adanya krisis dan kontradiksi antar negara maupun antar kelas sosial karena adanya pembangunan kapitalis yang tidak seimbang. Sementara, dalam asumsi kaum mekantilis, tatanan dalam EPI tercipta karena adanya aktor yang bertindak sebagai hegemon. Kaum merkantilis menekankan perlunya negara yang kuat untuk menciptakan perekonomian internasional liberal yang dapat berfungsi dengan baik.7
      Pandangan kaum Marxis mengenai pentingnya hegemon ini di kemudian hari memunculkan perdebatan di antara para pelaku ekonomi politik seiring dengan berkurangnya dominasi Amerika Serikat dalam mengatur stabilitas ekonomi politik internasional pasca terjadinya krisis minyak di tahun 1970-an. Di tahun 1970, Amerika mengalami defisit perdagangan untuk pertama kalinya dan situasi tersebut mendorong Amerika untuk mengambil langkah proteksionis terhadap perekonomiannya sendiri dibanding berorientasi terhadap langkah-langkah untuk mempertahankan perekonomoan dunia liberal. Sejak saat itu, dunia memasuki era baru yang dicirikan dengan adanya proteksionisme yang meningkat, ketidakstabilan moneter, dan krisis ekonomi.8 Para akademisi dan pelaku ekonomi politik pun semakin memperdebatkan perlunya hegemon dalam membentuk perekonomian dunia liberal. Dan, sejak peristiwa di tahun 1970-an tersebut, terjadi peningkatan interdepensi yang kompleks antara aktor-aktor dalam hubungan internasional terkait isu ekonomi politik internasional. Hal tersebut menyebabkan struktur dan tatanan dalam ekonomi politik internasional kini tidak lagi bergantung pada peran hegemon semata, melainkan semua aktor dalam hubungan internasional berhak turut andil dalam mempengaruhi dan bertanggung jawab (in charge) atas dinamika yang terjadi dalam ekonomi politik internasional.

Kesimpulan dan Opini:
Dinamika yang terjadi dalam EPI dapat dijelaskan melalui tiga teori kontemporer, yakni teori “dual ekonomi”, teori “sistem dunia baru”, dan juga teori “stabilitas hegemon”. Asumsi-asumsi dari ketiga teori tersebut mempengaruhi tatanan atau ‘order’ yang ada dalam lingkup EPI. Di antara ketiga teori tersebut, teori tentang stabilitas hegemon lah yang di kemudian hari meunculkan perdebatan. Dan seiring dengan berkurangnya dominasi AS pasca krisis minyak di tahun 1970-an, dan munculnya Jepang dan Jerman sebagai kekuatan baru menyadarkan dunia bahwa siapa saja berhak turut andil dan ‘in charge’ terhadap dinamika yang terjadi dalam EPI.
Menurut pendapat saya, di antara ketiga teori yang dijelaskan Gilpin tidak dapat dinilai mana yang paling benar dalam menggambarkan dinamika yang terjadi dalam EPI. Karena, masing-masing teori turut memberikan kontribusi yang saling melengkapi dalam membantu memahami kemungkinan-kemungkinan dinamika yang mempengaruhi ‘order’ dalam EPI di era yang lalu maupun masa kini.
*****

Referensi:
Gilpin, Robert. (1987). “The Dynamics of International Political Economy”, dalam the Political Economy of International Relations, Princeton: Princeton University Press, pp.65-117.

Lairson, Thomas D. dan D.Skidmore. (1993). “The Political Economy of American Hegemony: 1938-1973”, dalam International Political Econmy: the Struggle for Power and Wealth, Orlando: Harcourt Brace College Publisher, pp.63-94. 

Jackson, Robert and G.Sorensen.(1999). International Political Economy”, dalam Introduction to International Relations, Oxford: Oxford University Press,pp.246-274.


Jumat, 12 November 2010

Konsensus Washington, Penyesuaian Struktural, dan Neoliberalisme: Moneterisme dalam Ekonomi Politik Internasional


        Runtuhnya sistem Bretton Woods di tahun 1970-an, bukan berarti runtuh pula segala institusi perekonomian hasil bentukannya¾meliputi World Bank, IMF, GATT, dan OEEC. Keberadaan institusi-intitusi tersebut dalam mempengaruhi sistem moneter dunia hingga saat ini tidak dapat dilepaskan dari sejumlah kebijakan ekonomi politik yang diterapakan dalam institusi tersebut meliputi konsensus Washington, penyesuaian struktural, dan unsur neoliberalisme dalam kebijakan yang diterapkan. Pada review ini, penulis fokus pada analisa peran Bank Dunia (World Bank) dalam mempengaruhi sistem moneter perekonomian internasional dan bagaimana sejumlah kebijakan ekonomi politik yang diterapkan oleh para pemimpin dunia¾meliputi konsensus Washington, penyesuaian struktural dan peran neoliberalisme¾pada akhirnya membuat Bank Dunia dapat bertahan hingga saat ini.
          Merujuk pada tulisan Richard Peet berjudul “World Bank”, pendirian Bank Dunia mempunyai sebuah misi utama yakni menciptakan dunia tanpa kemiskinan di dalamnya, sebagaimana dikutip dalam sebuah kalimat “our dream is a world without poverty”.[1] Lebih lanjut, sejumlah tujuan lain di balik pendirian Bank Dunia terangkum dalam pasal 1 kesepakatan Bretton Woods, yakni: (1) untuk membantu rekonstruksi dan perkembangan teritori negara anggota dengan memfasilitasi investasi modal untuk tujuan produktif, meliputi restorasi perekonomian yang kacau akibat perang sekaligus memfasilitasi proses development di negara-negara yang kurang berkembang; (2) untuk mendorong masuknya investasi swasta asing (private foreign investment) sebagai pemberi jaminan atau pinjaman di Bank Dunia, dan sebaliknya ketika pihak swasta kesulitan menyediakan dana investasi maka Bank Dunia akan berusaha menciptakan kondisi yang sesuai bagi produktivitas modal mereka; (3) untuk mendorong terciptanya keseimbangan pertumbuhan perdagangan internasional dan keseimbangan neraca pembayaran (balance of payments); (4) untuk mengatur jumlah pinjaman yang tersedia sehingga dapat mencegah munculnya pinjaman-pinjaman dari pihak lain¾selain Bank Dunia; (5) untuk menciptakan transisi ekonomi yang lebih “smooth” dari perekonomian era perang menuju perekonomian era post-war.
          Pendirian Bank Dunia sepenuhnya adalah hasil prakarsa Amerika Serikat. Amerika meng-cover sebagian besar (sepertiga) dari total pinjaman yang disediakan oleh Bank Dunia, sementara sisanya merupakan sumbangsih (subcription) dari negara anggota yang lain. Tidak hanya itu, pengaruh Amerika Serikat yang demikian besar juga terlihat jelas di hampir semua aspek meliputi struktur, arah kebijakan, dan bentuk pinjaman yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.[2] Bahkan, sejak awal pendiriannya hingga tahun 1962, tiga dari lima generasi prediden Bank Dunia semuanya merupakan bankir yang mempunyai hubungan dekat dengan New York.[3] Kondisi ini tentu memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat baik dari segi ekonomi maupun politik. Berkat kontribusinya yang besar bagi penyediaan dana pinjaman di Bank Dunia, dollar Amerika secara otomatis menjadi mata uang utama yang digunakan dalam transaksi internasional. Sejumlah obligasi pun dijual dalam nominal US dollar (USD) dan melalui bursa saham milik Amerika pula (Wall Street) sehingga hegemoni ekonomi politik Amerika Serikat pun semakin meluas.
          Pada awal pendiriannya di tahun 1944, Bank Dunia hanya terdiri dari satu institusi yakni International Bank For Reconstruction and Development (IBRD) yang tujuan awalnya adalah untuk menghilangkan hambatan dan menciptakan kondisi bagi pertumbuhan dan produktivitas perekonomian global.[4] Caranya adalah dengan memberikan pinjaman uang yang utamanya ditujukan bagi pembangunan infrastruktur yang dipandang dapat memberikan prospek keuntungan jangka panjang sehingga memungkinkan bagi pengembalian uang (repayment). Pinjaman yang diberikan kepada negara-negara Dunia Ketiga pun ketika itu dilakukan dengan mempertimbangkan kemungkinan repayment, dan dengan memberlakukan sejumlah kebijakan ekonomi bagi negara yang bersangkutan. Namun, keadaan mulai berubah pada tahun 1950-an ketika presiden Bank Dunia mengunjungi negara-negara Dunia Ketiga. Sejak saat itu, kebijakan Bank Dunia lebih banyak memasukkan isu pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) di negara Dunia Ketiga¾yang juga merupakan akibat dari Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Soviet¾sebagai target utama pemberian pinjaman dibanding memberi pinjaman pada negara-negara Eropa.[5] Menurut Peet, perubahan kebijakan Amerika Serikat pada Bank Dunia ini didorong oleh beberapa faktor meliputi: (1) keinginan untuk membangun organisasi yang kuat bagi perekonomian dunia yang “bebas” dan “terbuka”; (2) isu kemiskinan negara Dunia Ketiga akan mendorong masuknya dana dari sektor swasta dan negara-negara lain sehingga mengurangi beban bagi keuangan Amerika Serikat; dan (3) membantu negara lain dipandang sebagai sesuatu yang akan memberikan keuntungan bagi kepentingan Amerika Serikat.[6]
          Situasi tersebut di atas pada akhirnya mendorong didirikannya institusi-institusi lain di bawah naungan Bank Dunia selama kurun waktu antara tahun 1958 hingga 1962, meliputi: International Development Association (IDA); International Finance Corporation (IFC); Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA); dan International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Pembentukan IDA utamanya ditujukan untuk memberikan pinjaman lunak (soft loans), yang merupakan jenis pinjaman jangka panjang dengan suku bunga rendah, bagi negara-negara Dunia Ketiga. Pendapatan IDA sebagian besar berasal dari negara-negara donor, dan sekali lagi Amerika Serikat menjadi negara pendonor terbesar (berkontribusi sebesar 42% dari total dana keseluruhan).[7] IDA memberikan pinjaman kepada negara-negara miskin dengan mengacu pada “basic needs approach” yakni tidak lagi fokus pada pembangunan infrakstruktur sebagaimana program IBRD, melainkan lebih ditujukan untuk pembangunan sosial meliputi pendidikan, kesehatan, suplai air, dan kontrol populasi. Proyek pemberian pinjaman pada negara-negara dunia ketiga yang secara keseluruhan telah dirinci dalam konsensus Washington ini, ternyata dalam penerapannya mengalami sejumlah kendala. Sebagian besar dari dana pinjaman yang diberikan justru jatuh ke tangan para petani kaya sehingga terjadi ketidakmerataan pendapatan dan tidak tercipta produktivitas ekonomi di negara resipien. Oleh karena itu, di tahun 1979 presiden Bank Dunia McNamara melakukan sejumlah penyesuaian struktural pada pinjaman yang diberikan (structural adjusment lending). Penyesuaian strukural ini utamanya fokus pada pemberlakuan kebijakan makro-ekonomi, perubahan institusional pada level negara, penyesuaian pinjaman untuk mendorong kebijakan sektoral, dan yang paling penting adalah “industrialisasi ekonomi” untuk meningkatkan produktivitas pendapatan.[8] Bank Dunia, dalam hal ini IDA, hanya akan memberikan pinjaman yang dilandasi prospek kebijakan yang jelas. Dengan adanya penyesuaian struktural ini, diharapkan akan mendorong munculnya orientasi ekspor dan menciptakan liberalisasi perdagangan di negara-negara resipien atau negara penerima pinjaman.
          Sayangnya, penyesuaian struktural ini pun tidak serta merta membuat program pengentasan kemiskinan di negara Dunia Ketiga berhasil. Penyesuaian struktural yang berbasis pada “industrialisasi ekonomi” tidak berhasil menciptakan produktivitas pendapatan dan justru membuat sebagian besar petani kehilangan lahannya.[9] Akhirnya Amerika Serikat kembali mengubah arah kebijakannya di Bank Dunia, kali ini dengan memasukkan unsur-unsur neoliberalisme seperti market- friendly state intervention dan good governance (meliputi pluralisme politik, akuntabilitas, dan penerapan hukum).[10] Kebijakan yang diterapkan kali ini lebih menyeluruh dengan mengacu pada “holistic approach” yang mana meliputi aspek pengentasan kemiskinan, pendidikan, gender, dan juga menerapkan kebijakan “khas” neoliberalisme seperti kebijakan hak kepemilikan tanah (property right), liberalisasi perdagangan dan juga privatisasi. Namun, sekali lagi kebijakan yang diterapkan Amerika Serikat bukan tanpa cela. Sejumlah kebijakan yang diterapkan menuai kritik dari para aktivis lingkungan karena dinilai menimbulkan masalah lingkungan seperti misalnya pembabatan hutan Amazon untuk kepentingan industri.
Kesimpulan dan Opini:
           Bank Dunia merupakan salah satu institusi perekonomian internasional yang tidak diragukan lagi peranannya dalam membentuk pola interaksi yang terjadi dalam lingkup ekonomi politik internasional. Kontribusi utamanya adalah membantu pengentasan kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga maupun negara-negara Eropa yang kacau akibat perang dengan cara memberikan pinjaman modal.
          Sekalipun peran Bank Dunia demikian besar, menurut pendapat saya, hal itu dapat dikatakan hanyalah sebagai “kedok” bagi Amerika Serikat untuk memperluas hegemoninya. Usaha perluasan hegemoni ini jelas terlihat tatkala Amerika Serikat selalu berusaha mendominasi sebagai negara donor terbesar dalam sejumlah institusi internasional seperti IBRD dan IDA, selain itu Amerika Serikat juga berusaha menebarkan paham neoliberalisme-nya melalui sejumlah kebijakan ekonomi seperti liberalisasi perdagangan dan privatisasi. Sekalipun pada akhirnya misi Bank Dunia untuk mengentaskan kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga belum sepenuhnya berhasil, namun menurut saya, hal ini tidaklah merugikan bagi Amerika Serikat karena tentunya ia telah mendapatkan sejumlah keuntungan ekonomi politik bagi negaranya, tidak saja dollar-nya mampu mendominasi pasar global melainkan hegemoni poltiknya pun semakin menyebar hingga ke negara-negara Dunia Ketiga.
*****
Referensi:
Peet, Richard. (2003). “The World Bank”, dalam Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, London: Zed Books, hal.111-145.


[1] Richard Peet. World Bank, 2003, hal.111.
[2]    Richard Peet. World Bank, 2003, hal.113.
[3] ,4 Ibid.hal.114

[5] ,6  Ibid.hal.116

[7] Richard Peet. World Bank, 2003, hal.118
[8] Ibid.hal.123
[9] Ibid.hal.129
[10] Richard Peet. World Bank, 2003, hal.129

Kamis, 21 Oktober 2010

Kerjasama Hegemonik Pada Pasca Perang

     Sejumlah ilmuwan hubungan internasional memiliki versi pemikirannya masing-masing dalam menjelaskan arti penting kehadiran negara “hegemon” dalam kaitannya untuk menciptakan kerja sama antar-aktor dalam sistem internasional. Pentingnya peran negara yang bertindak sebagai hegemon diungkapkan oleh Keohane hanya penting bagi awal pembentukan kerjasama. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ketika institusi internasional yang diperlukan terbentuk, negara-negara yang tidak bertindak sebagai hegemon akan tetap mampu menjalankan dan meningkatkan kerjasama lebih jauh bahkan dalam lingkungan penurunan hegemonik. Secara jelas Keohane juga mengakui adanya dampak kesinambungan rezim internasional terhadap kemampuan negara-negara yang berbagi kepentingan untuk menjalin kerjasama dalam kutipan berikut: “…hegemony often does play an important role (though not essential) role in the formation of international regimes. He bases his argument for the robustness of regimes in part on the difficulties of “regime-creation in the absence of hegemony¬…”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara keberadaan “hegemon”, adanya “rezim internasional”, dan terciptanya suatu “kerja sama”.
     Secara historis, hubungan antara hegemon, rezim internasional, dan terbentuknya kerjasama juga telah dijelaskan oleh Volker Rittberger dalam artikelnya “Power-based theories: hegemony, distributional conflict, and relative gains”. Menurutnya, teori stabilitas hegemon (hegemonic stability theory) dan studi tentang rezim internasional memiliki keterkaitan yang sangat erat dan kompleks. Keterkaitan antara teori stabilitas hegemon dengan rezim internasional utamanya adalah karena keberadaan negara dominan yang dalam permasalahan tertentu memberikan perhatian dalam menentukan kapan dan mengapa rezim internasional perlu dibentuk dan secara efektif mampu memaksa negara lain untuk mematuhi kebijakan kerjasama yang ada dengan asumsi bahwa tanpa adanya rezim tersebut maka tujuan yang diinginkan bersama tidak akan mungkin tercapai.
      Menilik pada kedua pernyataan Keohane dan Volker Rittberger di atas, maka suatu kerjasama antar-aktor yang terdapat dalam sistem internasional akan lebih terfasilitasi dengan adanya rezim internasional yang mana memberikan seperangkat aturan, norma, prinsip dan prosedur pembutan keputusan yang berfungsi memaksa para aktor untuk bertindak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama. Namun, untuk dapat menciptakan sekaligus menjaga kinerja dan stabilitas dari sebuah rezim internasional dibutuhkan peran penting negara hegemon yang dengan kapabilitasnya (meliputi ekonomi, politik, militer,dsb.) mampu memberikan “koersi” maupun “incentives” pada aktor lainnya dalam rezim untuk bertindak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam rezim tersebut sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kestabilan sistem internasional secara keseluruhan.
      Peran penting negara hegemon dalam sistem internasional lebih lanjut tampak semakin jelas ketika pasca Perang Dunia Kedua, dimana ketika itu polaritas dan stabilitas dunia dipengaruhi oleh dua superpower yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai konsekuensi atas keberhasilan mereka melawan Jerman dan sekutunya dalam Perang Dunia Kedua. Kedua superpower yang memang sejak awal memiliki perbedaan ideologi tersebut saling berambisi menjadi hegemon dalam tatanan dunia baru pasca perang. Namun, bila dibandingkan dengan Soviet, kekuatan hegemony Amerika Serikat jauh lebih unggul karena kondisi perekonomian pasca perang yang cenderung lebih stabil. Dalam kondisi tersebut Amerika Serikat perlahan menempati posisi pemimpin dunia yang hampir tidak tersaingi. Mayoritas politisi Amerika bahkan mengakui bahwa Amerika Serikat harus mengambil tanggung jawab dalam menciptakan perekonomian pasar dunia yang liberal , dimana ketika itu Inggris yang sebelumnya dengan mata uang poundsterling¬ mampu mengatur perekonomian dunia mulai kehilangan posisi hegemonnya di akhir abad kesembilanbelas akibat persoalan keuangan dalam negerinya pasca Perang Dunia Pertama, sementara perekonomian Jerman dan Jepang pun sama lemahnya pasca perang. Keadaan ini menyebabkan fokus utama Amerika Serikat sebagai ‘hegemon’ pada waktu itu adalah menata kembali sektor perekonomian terutama persoalan keuangan internasional (moneter) dan perdagangan. Langkah awal Amerika Serikat dalam mengatur perekonomian dunia dimulai dengan diadakannya pertemuan antara 44 negara di Desa Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat (AS), tepatnya pada 1-22 Juni 1944 yang secara keseluruhan menghasilkan apa yang dikenal dengan “Bretton Woods System”, dimana menetapkan sistem moneter baru dalam perekonomian internasional dengan berdasar pada sistem nilai tukar tetap (fixed-exchange rated system) terhadap dolar AS yang dikaitkan dengan emas, di mana setiap 1 ons emas ditetapkan harganya kira-kira sebesar USD28.35. Adanya fixed-exchanged rate system ini menggeser posisi poundsterling dan menjadikan dollar sebagai patokan mata uang dalam perdagangan internasional. Selain itu “Bretton Woods System” juga membentuk sejumlah rezim perekonomian internasional seperti International Monetary Fund (IMF) yang mengusahakan pengaturan nilai tukar dan ketidakseimbangan pembayaran antar negara dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang kemudian lebih dikenal sebagai World Bank. World Bank, bertujuan untuk memberikan suplemen-suplemen untuk investasi dalam skala internasional bagi negara-negara dalam sistem dunia internasional. Selain itu Amerika Serikat juga berusaha mefasilitasi adanya free market dengan mendirikan General Aggrement on Tarrifs and Trade (GATT), yang merupakan suatu forum untuk membicarakan tentang usaha-usaha reduksi tarif dan usaha penghapusan halangan-halangan dalam perdagangan internasional. GATT di kemudian hari berubah menjadi World Trade Organization (WTO). Awalnya, kehadiran institusi-institusi perekonomian tersebut ditujukan untuk membantu restrukturisasi ekonomi negara-negara Eropa yang secara ekonomi carut marut akibat perang. Namun kemudian tujuan tersebut dalam penerapannya semakin bergeser ke arah perluasan hegemoni Amerika Serikat. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya sejumlah usaha lain Amerika Serikat dalam mengontrol komoditas penting perekonomian dunia, misalnya minyak.
      Strategi kontrol Amerika Serikat terhadap komoditas minyak (oil control) dilakukan dengan melakukan intervensi terhadap Iran dan The Anglo-Iranian Oil Company (AIOC) yang dimiliki Inggris, serta mempersoalkan sengketa terhadap nasionalisasi terusan Suez oleh Mesir pada Juli 1956 dalam usaha pengalokasian dan pendistribusian minyak. Puncaknya, pada periode 1948-1957, impor minyak mentah Amerika Serikat dari wilayah Timur Tengah mencapai tiga kali lipat dan justru berbalik mengancam minyak domestik. Keadaan tersebut akhirnya memaksa Amerika Serikat pada Maret 1959 untuk memberlakukan kuota impor dengan menaikkan harga minyak domestik di atas harga minyak dalam pasar internasional. Namun, di tahun 1970 keadaan kembali berbalik mengancam perekonomian Amerika Serikat ketika negara-negara Timur Tengah melakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat sebagai “hukuman” atas keterlibatannya dalam membantu Israel melawan Palestina yang mengakibatkan sejumlah bisnis di Amerika Serikat collapse, dan membuat presiden Nixxon harus mengambil kebijakan floating-exchaged rated system terhadap nilai tukar dollar untuk menyelamatkan cadangan emas AS. Hal ini menandai berakhirnya “Bretton Woods System” sekaligus melemahnya hegemoni Amerika Serikat dalam perekonomian internasional seiring adanya defisit neraca perdagangan dalam negeri AS di tahun 1970-an.
Kesimpulan dan Opini:
Peran negara hegemon pada pasca Perang Dunia Kedua utamanya menitikberatkan pada usaha untuk memulihkan dan menstabilkan perekonomian dunia khususnya negara-negara Eropa yang melemah akibat dampak perang. Usaha tersebut salah satunya dilakukan dengan pembentukan rezim-rezim perekonomian internasional seperti IMF, dan GATT. Dalam rezim tersebut Amerika Serikat sebagai negara ‘hegemon’ berperan dalam menyediakan tatanan perekonomian internasional melalui “Bretton Woods System” dan untuk menjaga kelangsungan rezim tersebut diperlukan adanya suatu kerjasama hegemonik antara Amerika dengan 44 negara peserta lainnya untuk dapat menjaga stabilitas perekonomian internasional secara keseluruhan.
Menurut saya, sekalipun “Bretton Woods System” pada akhirnya runtuh, namun tetap terdapat sisi “keberhasilan” bagi Amerika Serikat. Selama periode pasca Perang Dunia Kedua hingga 1970-an secara tidak langsung Amerika Serikat melalui rezim perekonomian dan usaha oil control-nya telah berhasil memperluas pengaruh hegemoninya ke berbagai penjuru dunia meliputi Eropa, Timur Tengah, dan Asia (dalam perang Vietnam), yang mana hal ini memberikan kontribusi penting bagi bangkitnya hegemoni Amerika Serikat di kemudian hari pada tahun 1990-an pasca Perang Dingin.
Referensi:
Rittberger, Volker. (1997). Power-based theories: hegemony, distributional conflict, dan relative gains. New York: Cambridge University Press,pp.83-135.
Sorensen,Georg. (1999). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp.227-277.

Koordinasi dan Kolaborasi: Rezim pada Dunia yang Anarki


Artikel Arthur A. Stein, Coordination and collaboration: regimes in an anarchic world, menekankan pada pembedaan pembuatan keputusan secara independen (independent decision making) yang menjadi karakteristik dari politik internasional yang anarki dengan pembuatan keputusan secara bersama (joint decision making) yang merupakan karakter dari sebuah rezim. Di tengah keberadaan anarkisitas dunia (anarchic world), dimana negara dilihat sebagai suatu entitas yang berdaulat dan percaya akan kemampuannya (self-reliant), keberadaan sebuah rezim masih sangat relevan untuk diperbincangkan. Hal ini disebabkan karena adanya self-interest dan otonomi yang dimiliki oleh negara bukan tidak mungkin akan mengalami interdependensi satu sama lain yang pada akhirnya mendorong mereka untuk membentuk suatu rezim guna menghadapi sejumlah dilema yang ada.
          Istilah “anarki” itu sendiri, dijelaskan oleh Stein, merupakan suatu istilah atau metafor yang sering digunakan oleh para akademisi untuk mendeskripsikan hubungan antarnegara, dimana nation-state dianggap sebagai subyek yang mampu mempertimbangkan sendiri pilihan-pilihan yang ada, dan kemudian dapat menentukan pilihannya sendiri secara independen untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Jadi, dalam pandangan dunia anarki, negara merupakan entitas berdaulat yang dapat secara otonom menentukan strategi yang diambil, serta dapat memetakan sendiri arah pembuatan keputusannya.[1] Dan selama tingkah laku negara dalam kaitannya dengan hubungan internasional terjadi tanpa paksaan (unconstrained) dan keputusan diambil secara independen, maka dalam kondisi tersebut tidak dibutuhkan adanya rezim. Rezim juga tidak dibutuhkan ketika tiap-tiap negara dapat mencapai hasil yang diinginkan melalui keputusan yang independen sehingga tidak ada konflik yang muncul. Sebaliknya, rezim ada ketika terdapat paksaan atau aturan yang mengatur interaksi antara pihak yang satu dengan lainnya, dan pengambilan keputusan diantara pihak-pihak tersebut tidak bersifat independen melainkan interdependen (yang mana adanya interdependensi dan aturan-aturan yang ada tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu pola tingkah laku tertentu). Salah satu contoh keadaan yang tidak membutuhkan rezim misalnya barter dan pemberian bantuan bencana alam.
          Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dunia anarki memang dicirikan dengan adanya pengambilan keputusan secara independen. Namun, di sisi lain ada suatu kondisi yang mendorong para aktor untuk tidak bertindak secara independen dalam membuat keputusan dikarenakan keputusan yang dibuat secara independen tidak menghasilkan keuntungan atau hasil yang maksimal bila dibandingkan dengan hasil yang dicapai melalui pembuatan keputusan secara bersama. Kondisi tersebut diistilahkan oleh Stein sebagai suatu dilema, dimana terdapat dua macam dilema yakni: dilemma of common interests, dan dilemma of common aversions.[2]
Ÿ Dilemma of common interests
         Dilemma of common interests muncul ketika keputusan yang dibuat secara independen pada akhirnya menghasilkan equilibrium outcome yang bersifat Pareto-lemah (Pareto-deficient)¾yakni outcome yang mana semua aktor yang terlibat lebih memilih outcome lain dibandingkan outcome yang benar-benar equilibrium. Contoh klasik dari keadaan ini adalah “the prisoners’dilemma”, dimana strategi dominan dari para aktor mengahasilkan outcome yang bersifat Pareto-lemah. Istilah prisoners’ dilemma digunakan untuk menjelaskan contractarian-coercion yang ada pada negara modern, dimana para ahli politik menyatakan bahwa masing-masing pihak yang terlibat sepakat untuk memaksa satu sama lain demi memastikan dihasilkannya outcome yang maksimal dari kerjasama yang dilakukan. Dengan kata lain, mereka sepakat untuk memaksa satu sama lain guna menjamin bahwa tidak ada seorang pun yang mengambil keuntungan lebih dari kerjasama tersebut dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap kesepakatan yang telah dibuat.
          Salah satu contoh permasalahan yang dikarakteristikan dengan adanya prisoners’ dilemma adalah kasus kepemilikan bersama atas suatu barang (collective goods). Dalam kasus ini, rezim dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan collective goods, dimana tiap-tiap negara memaksa adanya kontribusi dari tiap pihak yang terlibat sehingga dapat terhindarkan dari munculnya ‘free rider’¾yakni mendapatkan manfaat dari barang-barang tersebut tanpa berkontribusi.
Ÿ Dilemma of common aversions                                                                            
         Rezim juga dapat menjadi solusi pemecahan masalah ketika terjadi dilemma of common aversions. Situasi ini terjadi ketika aktor dengan stateginya tidak berharap pada terciptanya outcome yang paling diinginkan oleh kesemua pihak melainkan berharap pada terciptanya suatu outcome yang memang ingin dihindari oleh semua pihak. Kondisi ini menyebabkan adanya multiple equilibria (dimana dikatakan terdapat dua equilibria jika terdapat dua aktor dengan masing-masing aktor memiliki dua pilihan) sehingga membutuhkan adanya koordinasi antara para aktor. Adanya dilema ini pada akhirnya mendorong masing-masing pihak untuk menghindari pembuatan keputusan secara independen.
            Intinya,dalam artikel Arthur A.Stein dijelaskan bahwa perbedaan utama antara situasi dilemma of common interests dan dilemma of common aversions terletak pada kepentingan yang diusung oleh masing-masing rezim yang muncul dari situasi dilema tersebut, serta bagaimana cara rezim mengatasi dilema tersebut. Pada situasi dilemma of common interests tiap-tiap aktor mempunyai kepentingan yang sama dalam memastikan (insuring) tercapainya suatu outcome yang diingini bersama, tetapi pada situasi dilemma of common aversions tiap-tiap aktor mempunyai kepentingan yang sama dalam menghindari (avoiding) outcome tertentu. Di sisi lain, jika ditinjau dari cara rezim mengatasi dilema yang terjadi, pada situasi dilemma of common interests penanganannya dilakukan dengan kolaborasi. Sementara, pada situasi dilemma of common aversions ditangani dengan cara koordinasi.
          Situasi dilemma of common interests membutuhkan penanganan dengan kolaborasi karena hanya akan ada satu equilibrium outcome yang sifatnya deficient bagi semua aktor yang terlibat. Adanya kolaborasi disini penting untuk menciptakan pola tingkah laku yang ketat antara para aktor dan untuk memastikan bahwa tidak satupun aktor yang berbuat kecurangan.[3] Pada situasi ini tiap-tiap aktor menginginkan adanya kepastian bahwa aktor lain juga akan berbuat hal yang sama yakni menghindarkan diri dari keegoisan untuk memaksimalkan keuntungan pihaknya sendiri. Sehingga rezim disini harus tegas dalam menetapkan pola kerjasama dan apa-apa yang dikategorikan sebagai perbuatan kecurangan terhadap rezim, dan masing-masing aktor dituntut untuk waspada dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan bentuk-bentuk kecurangan tersebut.
          Di sisi lain, dalam situasi dilemma of common aversions, suatu koordinasi saja sudah cukup untuk mengatasi dilema yang ada. Karena situasi ini memungkinkan adanya multiple aquilibria, rezim yang terbentuk dalam situasi ini lebih menekankan pada bagaimana cara menghindari (avoiding) suatu outcome tertentu. Sehingga dalam situasi ini tidak ditemui permasalahan terkait dengan ‘policing’ dan ‘compliance’.

Kesimpulan dan Opini:
          Dunia yang anarki memang dicirikan dengan adanya pengambilan keputusan secara independen. Namun di sisi lain, ada situasi dilema tertentu yang pada akhirnya mendorong para aktor untuk memilih joint decision making dibandingakan independen decision making. Kondisi dilema tersebut diistilahkan Stein dengan dilemma of common interests (yang mana pembuatan kesepakatan dilakukan dengan cara kolaborasi) dan dilemma of common interests (yang mana pembuatan kesepakatannya dilakukan dengan cara koordinasi). Dalam menghadapi dilema common interests dan common aversions, adanya rezim sangat dibutuhkan dalam membantu para aktor untuk mencapai hasil yang diinginkan dengan mendorong agar terbentuk suatu kerja sama. Namun ketika para aktor sudah dapat mencapai hasil yang paling diinginkan secara independen tanpa adanya konflik, maka pada keadaan tersebut rezim tidak dibutuhkan.
          Menurut saya, pada dasarnya adanya koordinasi dan kolaborasi dalam rezim internasional di dunia anarki lebih kepada bagaimana para aktor mendapatkan hasil yang paling diinginkan dengan adil. Dan sejauh saya membaca artikel Arthur A.Stein, menurut saya terdapat 3 poin utama yang harus digarisbawahi dalam memahami rezim di dunia anarki, yakni: (1) Dalam dunia anarki ada situasi-situasi tertentu (common interests dan common aversions) yang mendorong para aktor untuk memilih joint decision making; (2) Adanya interdependensi dan kepentingan untuk mencapai joint decision making dalam situasi dilema mendorong terciptanya suatu rezim internasional untuk membatasi tindakan para aktor yang terlibat dan menghindarkan adanya kecurangan; (3) Cara pembuatan keputusan dalam rezim tergantung pada dilema yang dihadapi, jika dilemanya berkenaan dengan common interests maka keputusan diambil dengan cara berkolaborasi, sementara jika dilemanya berkenaan dengan common aversions maka keputusan diambil dengan cara berkoordinasi.
*****
Referensi:
Stein, Arthur A. (1983). Coordination and collaboration: regimes in an anarchic world. USA: Cornell University Press, pp.115 – 140.


[1] A.Stein, Arthur. Coordination and collaboration: regimes in an anarchic world. p.116
[2] A.Stein, Arthur. Coordination and collaboration: regimes in an anarchic world. p.120
[3] A.Stein, Arthur. Coordination and collaboration: regimes in an anarchic world. p.128

Rezim-rezim Internasional: Pelajaran-pelajaran dari Analisis-analisis Induksi

     Dalam artikel Donald J.Puchala dan Raymond F.Hopkins, International Regimes: Lessons from Inductive Analysis, adanya rezim merupakan salah bentuk wadah penyalur aksi politik dalam suatu sistem. Dan dalam setiap sistem politik, entah itu di PBB, di Amerika, New York, atau dimanapun berada selalu terdapat hubungan atau kesesuaian antar-rezim (corresponding regime). Rezim berfungsi memaksa, membatasi dan mengatur perilaku para partisipannya; mempengaruhi isu-isu atau permasalahan mana yang dapat diagendakan; dan juga menentukan aktifitas mana yang terlegitimasi dan aktifitas mana yang dilarang, serta mempengaruhi kapan dan bagaimana cara penyelesaian konflik sebaiknya dilakukan.
    Dalam artikelnya, Puchala dan Hopkins menitikberatkan pada lima hal penting dalam rezim, yakni:
1. Rezim adalah fenomena attitudinal, dimana perilaku atau attitude para partisipannya merupakan wujud dari kepatuhan terhadap prinsip, norma-norma, dan aturan yang telah disepakati bersama. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa rezim itu sendiri bersifat subjective: dimana ketentuan tentang perilaku adalah tergantung pada bagaimana kesepahaman yang dibuat antar-partisipan, dan seperti apa perilaku moral yang dianggap paling sesuai. Dan karena rezim merupakan fenomena attitudinal, seringkali aktivitas atau perilaku dalam rezim bersifat interdependen dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam sistem. Misalnya: rezim yang berfungsi untuk mengatur penjualan obat-obatan dan alat kesehatan; rezim yang mengatur sistem transportasi udara internasional; maupun rezim untuk mengatur penggunaan lautan dalam lingkup internasional.

2. Dalam rezim internasional terdapat norma-norma yang mempengaruhi prosedur pembuatan keputusan. Norma-norma yang dimaksud disini bukanlah sekedar norma-norma yang bersifat substantif melainkan kita harus melihat norma dalam rezim sebagai sesuatu yang memiliki cakupan luas yang mana dengan norma itu akan dihasilkan suatu prosedur yang nantinya akan berpengaruh pada kebijakan yang dihasilkan. Norma-norma dalam rezim mencakup aturan tentang siapa saja yang berpartisipasi, kepentingan apa yang mendominasi, dan aturan apa yang digunakan untuk memproteksi rezim terhadap dominasi aktor tertentu dalam pembuatan keputusan. 

3. Deskripsi tentang rezim haruslah mencakup karakteristik prinsip-prinsip utama yang bersifat menguatkan, sehingga terdapat semacam hirarki antara prinsip-prinsip tersebut dan pada akhirnya berpengaruh pada prospek pelaksanaan norma-norma yang ada. 

4. Tiap rezim memiliki sejumlah golongan elit yang bertindak sebagai practical actors. Pemerintah maupun negara-bangsa pada umumnya merupakan anggota utama dalam rezim internasional, walaupun tidak menutup kemungkinan bagi organisasi internasional, transnasional, maupun submasional untuk turut berpartisipasi di dalamnya. 

5. Rezim ada dalam setiap area permasalahan substantive dimana terdapat pola perilaku (patterned behaviour) tertentu dalam lingkup hubungan internasional. Ini artinya, dimanapun ada keteraturan atau keterpolaan perilaku terkait dengan adanya prinsip, norma ataupun aturan maka disitulah rezim berada. Walaupun seringkali memang beberapa perilaku tertentu merefleksikan adanya paksaan karena dominasi aktor yang memiliki power lebih kuat dabanding refleksi dari adanya kesepakatan bersama.

     Selain menerangkan tentang lima key features dalam rezim di atas, Puchala dan Hopkins juga menegaskan perbedaan cara mereka dalam menganalisis rezim. Jika ilmuwan-ilmuwan hubungan internasional sebelumnya cenderung menggunakan pendekatan deduktif, dimana prinsip-prinsip dalam rezim diperoleh dari teori-teori umum hubungan internasional atau dari pola model dalam mikroekonomi, Puchala dan Hopkins menawarkan pendekatakan yang berbeda yakni pendekatan induktif. Dalam pendekatan induktif, analisis tentang prinsip-prinsip rezim diperoleh dari kesaksian partisipan dan rules yang digunakan berasal dari aturan-aturan tertulis seperti charters,treaties, maupun codes. Dan sesuai dengan judul artikelnya yakni International Regimes: Lessons from Inductive Analysis, secara garis besar dapat dikatakan bahwa pelajaran yang diperoleh Hopkins dan Puchala dari analisis induktif ini adalah mereka menemukan empat karakteristik penting yang mendasari studi perbandingan mengenai rezim.

1. Specific vs. diffuse regimes
Spesifik rezim: isu-isu yang dibahas adalah single-issue, rezim cenderung bertahan lama, jumlah partisipan relatif sedikit, bersifat substructure. Contoh: norma-norma yang mengatur tentang national self-determination, ¬pengakuan kedaulatan, larangan intervensi urusan domestik negara lain, dsb.
Diffuse rezim: isu-isu yang dibahas adalah multi-issues, rezim cenderung tidak bertahan lama maupun sering terjadi perubahan dalam rezim, jumlah partisipan relatif banyak, bersifat superstructure. Contoh: prinsip tentang balance of power diantara para aktor di abad ke-19 yang kemudian direfleksikan melalui regulasi ekspansi (substructure) dan regulasi peperangan (substructure).

2. Formal vs. informal regimes
Formal rezim: dibuat oleh organisasi internasional, ditopang atau didukung oleh dewan (council), konggres ataupun badan lain, dan dimonitori oleh birokrasi internasional.
Informal rezim: dibuat dan di-maintain dengan adanya pertemuan maupun konsensus diantara para partisipan, dorongan utama berasal dari mutual self-interest, dan dimonitori oleh badan pengawasan yang dibentuk bersama. Contoh: Rezim antara AS dan Uni Soviet ketika masa détente untuk tidak saling menyerang demi kepentingan bersama.
3. Evolutionary vs. revolutionary change within the regime
Evolutionary change: perubahan ini terjadi terhadap norma-norma prosedural dalam rezim, dan biasanya tanpa ada perubahan dalam hal distribusi kekuasaan diantara para partisipan. Contoh: terjadi perubahan pada norma tanpa mengubah prinsip, atau dengan sengaja mengubah norma untuk sekaligus mengubah prinsip dalam rezim.
Revolutionary change: yang berubah adalah power structure-nya. Perubahan semacam ini lebih umum terjadi, dan biasanya terjadi pada rezim-rezim yang hubungan antar- partisipannya bersifat advantage dan disadvantage. Artinya keuntungan bagi pihak yang satu merupakan kerugian bagi pihak yang lain.

4. Distributive bias
Semua rezim pada dasarnya berpotensi menciptakan prasangka. Mereka membangun hiriearki nilai, menegaskan beberapa dan menghilangkan lainnya. Rezim yang jujur biasanya bertahan lebih lama ketimbang yang tidak.
Selanjutnya pelajaran yang diperoleh oleh Hopkins dan Puchala dari analisis induktif adalah pengaplikasian dari teori-teori yang mereka. Mereka membandingkan kekontrasan antar rezim di dua area permasalahan yang berbeda. Yang pertama adalah rezim di era kolonialisme (1870-1914), dan yang kedua adalah rezim di era Food regime (1949-1980).

Kolonialisme, 1870-1914
Sejarahwan mengidentifikasi bahwa rentang tahun 1870-1914 lah merupakan hari kejayaan ekspansi kolonial Eropa. Analisis Hopkins dan Puchala menemukan bahwa kekuatan imperial dalam hubungan internasional dilancarkan melalui rezim-rezim.
Dasar subyektif dari rezim internasional dibicarakan dalam enam garis besar, yakni:
1. pembagian peradaban
dunia dibagi dalam dua kelas, negara dan rakyat, beradab dan tidak beradab. Yang tidak beradab berpotensi melakukan tindakan kekerasan dan brutal saat situasi tidak mendukung, namun yang beradab akan lebih mendemotrasikan pengendalian diri dan rasa hormat: berdiskusi dianggap merupakan interaksi yang tepat.
2. kemampuan menerima aturan asing
3. Kesopanan dalam pengakumulasian tanah milik bangsawan/ negara.
4. pentingnya keseimbangan kekuatan.
5. Legitimasi dalam neomerkantilisme
6. non-interferansi dalam administrasi kolonial lainnya.

Makanan (1949 - 1980)
Rezim internasional untuk makanan ada akibat dari Perang Dunia II sebagai hasil beberapa perkembangan. Yang paling penting dari rezim tersebut adalah terciptanya organisasi makanan internasional, tumbuhnya Amerika Utara sebagai penyedia penting gandum di pasar dunia dan ciptaan dan penyebaran praktek pertanian yang lebih produktif. Rezim makanan mengatur aktifitas internasional yang berpengaruh pada produksi, distribusi, dan konsumsi makanan, dan dampak-dampak tersebut ampuh pada hampir setiap negara di dunia.
Rezim makanan berbeda dengan kolonialisme. Rezim makanan lebih formal. Maksudnya banyak organisasi terbentuk dan menyebarkan norma dan peraturan rezim. Contohnya agen dari PBB yaitu Organisasi Makanan dan Pertanian (FAO) dan Program Makanan Dunia (WFP).

Kesimpulan dan Opini:
Inti dari artikel Puchala dan Hopkins ini adalah mereka menganalisis rezim dengan pendekatan induktif, dimana analisis tentang prinsip-prinsip rezim diperoleh dari kesaksian partisipan dan rules yang digunakan berasal dari aturan-aturan tertulis seperti charters,treaties, maupun codes. Dari hasil dari analis induktif tersebut diperolehlah 4 karakteristik penting dalam rezim yakni (1) spesifik dan diffuse, (2) formal dan informal, (3) evolutionary dan revolutionary, (4) distributive bias. Yang kemudian teori-teori Hopkins dan Puchala itu diaplikasikan dengan membandingkan rezim di era kolonialisme dan era Food rezim.
Dan, menurut pendapat saya jika dihubungkan dengan teori Hopkins dan Puchala..
Rezim di era kolonialisme  merupakan diffuse regime karena tidak ada spesifikasi yang jelas; merupakan informal rezim karena belum sepenuhnya melibatkan state actors; sering mengalami perubahan revolutionary karena seketika terjadi perubahan distribusi power jika pemimpin mati saat melakukan ekspansi; cenderung bersifat destruktif, karena saling mengekspansi dan menjatuhkan satu sama lain.
Rezim di era food rezim  merupakan cikal bakal specific regime karena masing-masing rezim seperti FAO dan WFP masing-masing memiliki spesifikasi sasaran yang jelas; merupakan formal regime karena FAO merupakan bagian dari PBB dan PBB melibatkan peran state-actor dari berbagai negara; perubahannya bersifat evolutionary dan lebih konstruktif dalam membantu kualitas pangan di berbagai negara akibat PD II.

*****

Referensi:
Puchala, Donald J. and Raymond F. Hopkins.(1983).”International regimes: lessons from inductive analysis” in Stephen D. Krasner(ed).International Regimes. Ithaca and London: Cornell University Press.Page 61-92.

WORDS CAN HURT YOU; OR, WHO SAID WHAT TO WHOM ABOUT REGIMES

       Esai dari Ernst B.Hass ini menekankan bahwa pada awal mulanya setiap orang mungkin akan mempunyai interpretasi yang berbeda tentang apa yang dimaknai sebagai rezim. Demikian halnya dengan Hass, mulanya ia berpikir bahwa: “pemahaman mengenai sebuah rezim tidak lain hanya merupakan sebuah susunan dimana dimana setiap anggota yang berada di dalam susuan tersebut berusaha mengatur dan membatasi konflik kepentingan antara mereka karena adanya kesadaran bersama bahwa terdapat interdependensi yang kuat antar mereka yang sangat mudah memicu terjadinya konflik.”1  

       Namun pada dasarnya tujuan dari esai atau artikel yang dibuat oleh Hass ini bukanlah untuk menjabarkan pemahaman yang paling benar tentang apa yang disebut dengan rezim, melainkan Hass melalui esai-nya hanya ingin memaparkan pandangan (point of view) dirinya mengenai dinamika rezim guna melengkapi teori-teori yang sudah ada sebelumnya.

         Menurut pandangan saya, esai ini menjadi penting untuk dipelajari karena sejatinya, setuju dengan apa yang diungkapkan oleh Hass, pembelajaran mengenai rezim sangat dinamis dari masa ke masa. “Studi mengenai rezim tidak lagi hanya sebatas studi mengenai kolaborasi internasional yang berkaitan dengan politik, meskipun memang dalam rezim itu sendiri terdapat dimensi politik. Studi rezim saat ini lebih ditekanan sebagai suatu upaya untuk mempelajari pola interaksi antar homo politicus dengan lingkungan (nature) dan budaya (culture).”2 Sehingga studi rezim pada akhirnya dapat menunjukkan rentangan antara pilihan masa lalu dan pilihan masa depan terkait dengan kolaborasi internasional dalam konteks kepentingan dan pemahaman masing-masing pihak (self understanding) yang senantiasa mengalami perubahan.

         Poin-poin yang menurut saya penting dalam esai Ernst B.Hass ,antara lain: 

ü Rezim merupakan suatu variabel dependen, yang mana pemahaman tentang rezim dari setiap ilmuwan mungkin akan berbeda untuk suatu pertanyaan yang sama mengenai rezim;       

ü  Rezim muncul ketika suatu negara menyadari bahwa desired outcome mereka tidak akan mungkin tercapai hanya dengan outonomous action, melainkan terdapat interdependensi antar negara satu dengan lainnya sehingga membutuhkan collective action ;

ü  Konsep utama (key concept) dalam suatu rezim adalah adanya hegemoni dan koalisi. Setiap negara berjuang untuk mencapai kepentingannya melalui rezim dimana ia tergabung di dalamnya. Dan ketika posisi suatu negara hegemon mulai terkikis, maka kecenderungan yang akan terjadi dalam rezim tersebut adalah negara hegemon tadi mungkin megubah arah kepentingannya atau memillih meninggalkan rezim. Dan kecenderungan yang terjadi pada negara-negara yang lebih lemah (weaker states) adalah membentuk koalisi yang bertentangan dengan hegemon, atau mungkin juga memutuskan keluar dari rezim. Jadi, menurut Hass: “suatu rezim akan tetap ada sepanjang koalisi antar negara-negara hegemon dengan negara-negara yang lebih lemah tetap utuh.”3  

ü  Menurut Hass, kaum Marxist, pluralis, ecologist, maupun liberal sebenarnya mempunyai pandangan yang sama tentang stuktur, dan tentang bagaimana suatu rezim bekerja. Yang membedakan mereka, hanyalah motif dari adanya rezim itu sendiri.

-          Marxist --> menekankan pada adanya kesetaraan (equity) dalam rezim;

-          Liberalis -->menekankan pada efisiensi dan optimalisasi rezim untuk kesejahteraan bersama;

-          Ecologist --> menekankan pentingnya rezim untuk physical and biological survival yang dapat mempengaruhi kualitas hidup umat manusia;

-          Pluralist --> menekan rezim untuk mempertahankan national outonomy dalam menghadapi interdependensi yang kompleks.



         Melihat adanya perbedaan antara kaum Marxist, pluralis, ecologist, dan liberal sebagaimana telah saya jabarkan di atas, Hass kemudian menyimpulkan bahwa: ”kontroversi mengenai rezim muncul karena sebagian mempercayai organic metaphor sementara sebagian yang lain mempercayai mechanical metaphor.”4



I.                   Rezim dan Organic Metaphor

Ada 3 pendekatan yang ada dalam organic metaphor, yakni: eco-environtmentalism, eco-reformism, dan egalitarianism. Tiga pedekatan ini memiliki keinginan untuk berkontribusi dalam konteks survival for the species. Atau dengan kata lain golongan rezim yang mempercayai organic metaphor menekankan pada pentingnya kesadaran akan regenerasi umat manusia. Perbedaan ketiganya, adalah:

-          Eco-enviromentalism: pikiran yang mendasari golongan ini adalah adanya krisis yang melanda umat manusia, dan kejadian lain yang dapat mengancam kelestarian ras manusia. Sehingga menurut rezim ini perlu adanya upaya untuk mengimbangi science dan religion sehingga tercipta emansipasi dan liberalisasi dalam kehidupan manusia;

-          Eco-reformism: para aktor terikat untuk menyelesaikan problem ekonomi-ekologi demi kualitas hidup bersama;

-          Egalitarianism: kepentingan para aktor bersifat selfish, jangka pendek, namun juga progresif;



II.                Rezim dan Mechanical Metaphor

      Hass mengistilahkan 3 pendekatan yang terdapat dalam mechanical metaphor dengan sebutan: liberal, mercantilist, dan mainstream. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan organic metaphor, hal ini dikarenakan pendekatan mechanical metaphor tidak mempunyai komitmen khusus terhadap perkembangan alam/ lingkungan dan budaya. Melainkan, yang lebih ditekankan pada pendekatan ini adalah adanya interdependensi yang lebih compleks antara negara yang satu dengan negara lainnya dalam hal ekonomi dan politik. Atau mereka lebih sering mengistilahkan dengan “the world political economy”.

      Hubungan antar negara, menurut pendekatan ini, tidak hanya sebatas hubungan tukar menukar barang, melainkan juga pertukaran dalam hal military security.

      Konsep sentral dari pendekatan ini adalah hegemoni. Dimana asumsinya adalah hegemoni menentukan hirarki kekuasaan dalam lngkup hubungan internasional. Aktor-aktor yang bertindak sebagai hegemon lah yang menentukan aliran resources dan juga menentukan jalannya rezim.

Perbedaan antara liberal, mercantilist, dan mainstream, adalah:

-          Liberal: kepentingan actor bersifat selfish, dan short-run demi efisiensi bersama;

-          Mercantilist : kepentingan aktor bersifat selfish, namun jangka panjang demi kemakmuran dan pertahanan negara;

-          Mainstream: kepentingan aktor bersifat selfish dan jangka pendek demi melindungi kepentingan dari koalisi hegemoni (gabungan antara liberalism dan mercantilism).



Kesimpulan dan Opini:

         Sejauh saya membaca esai karangan Ernst B.Hass ini, saya dapat menyimpulkan bahwa hal terpenting yang pertama harus kita ingat untuk memahami istilah rezim itu sendiri adalah bahwasanya rezim tidaklah sama dengan order maupun system. Rezim hanya merupakan salah satu dari banyak bagian yang terdapat dalam sistem. Rezim merupakan sekumpulan prinsip-prinsip eksplisit maupun implisit, norma-norma, aturan, dan juga prosedur pembuatan keputusan antara beberapa aktor yang berkumpul/ bergabung dalam pengelompokan tertentu dalam hubungan internasional. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Hass, bahwa prinsip utama (key concept) dalam suatu rezim adalah adanya hegemoni dan koalisi. Dan setiap negara berjuang untuk mencapai kepentingannya melalui rezim dimana ia tergabung di dalamnya. Sehingga…

         “Rezim tidak selalu merupakan kolaborasi kebijakan, melainkan terkadang rezim hanyalah sebuah bentuk dari koordinasi kebijakan (policy coordination) antara pihak-pihak yang tergabung dalam rezim.” [Hass, p.27]

         Dan dengan mengacu pada kutipan:

         “Regime can take the form of conventions, international agreements, treaties, or international institutions.” [Int’l Relation Key Concept, p.272]

         Maka, menurut pandangan saya, salah satu gambaran nyata adanya prinsip hegemoni dan koalisi dalam rezim dapat saya contohkan misalnya protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan contoh rezim internasional yang terbentuk atas prakarsa negara-negara adidaya (negara hegemon) dan PBB dengan melibatkan negara-negara berkembang untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Negara-negara maju dengan “power”-nya menerapkan hegemoninya terhadap negara-negara berkembang dan mendesak untuk mengurangi emisi gas buang (CO2), namun di sisi lain negara-negara maju sebagai kontributor utama gas CO2 justru masih belum menerapkan pengurangan emisi gas buang yang signifikan. Sehingga kini, negara-negara berkembang tengah berkoalisi untuk mendesak negara maju agar setidaknya mau memberikan bantuan dana guna mendanai program pengurangan emisi gas buang di negara berkembang. Dan diharapkan rezim Int’l berupa kesepakatan Kyoto ini nantinya dapat memberikan dampak yang signifikan untuk kepentingan bersama.



Referensi:  

-          Krasner, Stephen. 1983. International Regimes. New York: Cornell University Press. p.23-59.

-          Griffiths,Martin. 2001. International Relation: The Key Concept. British: Routledge.